Wah, cukup lama juga gue nggak nulis di sini.
Memang ya, perjalanan waktu itu sering kali nggak terasa oleh gue dan (mungkin) kalian semua.
Hahaha *garing*
Sebelum kalian scroll-scroll ke bawah dan bosen, gue mo kasih tahu aja kalo postingan
ini bakalan panjang. Isi tulisannya bakalan jadi semacam tulisan filsuf gagal
gitu deh. *eh*
On commence…
Ada yang menggelitik perasaan gue tentang kata
“perpisahan”. Tiba-tiba aja pas lagi duduk, sendirian pula di kosan, kata itu
muncul dalam pikiran gue, memenuhi isi kepala gue, dan berbuah menjadi sebuah
pemikiran.
Apa arti perpisahan itu kalo di dalam kamus? Oke,
kalo menurut KBBI luring (luar jaringan) kata “perpisahan” itu berarti per·pi·sah·an
v 1
perceraian; 2 hal berpisah. Terus, gue lihat kata berpisah dan artinya ber·pi·sah
v 1
bercerai (tidak berhubungan, tidak rapat; tidak berdampingan, dsb): ~ untuk selama-lamanya,
meninggal; di depan
terminal bus mereka ~ , kembali ke rumahnya masing-masing; ia sudah lama ~ dng suaminya;
mengucapkan selamat ~ , mengucapkan selamat pd waktu hendak
meninggalkan seseorang; hidup
~ , hidup yg tidak tinggal dl satu rumah lagi (bagi suami istri);
belum bercerai; 2 berjauhan; berjarak (berantara): kedua kota itu letaknya ~ beratus-ratus
mil. Ya, secara
pengertian seperti itu, tapi kalo menurut gue makna dari perpisahan lebih dari
itu.
Gue kurang setuju dengan ungkapan di masyarakat
bahwa perpisahan adalah sebuah permulaan. He? Gue bertanya-tanya, bakalan jadi
permulaan apa nih, baik apa buruk? Iya sih ada benarnya emang kalo perpisahan
itu sebuah permulaan atau awal perjalanan hidup yang baru seseorang akibat dari
perpisahan. Sayangnya, gue nggak mau kalo perpisahan itu menjadi sia-sia, nggak
bermakna dalam hidup gue dan hanya menjadi permulaan tanpa perubahan apa-apa.
Ngerinya, perpisahan itu malah membawa gue dalam kutub negatif kehidupan.
Pikiran dan hati gue lebih mengamini bahwa
perpisahan adalah sebuah awal pembelajaran baru dalam hidup. Kenapa? Karena
kalo gue maknain dalam hidup gue, perpisahan adalah gerbang pembelajaran baru
dalam hidup gue. Kalo gue melakukan kesalahan dalam proses healing, gue akan belajar dari kesalahan itu dan menjadi lebih baik
dari sebelumnya. Gue tidak akan terus terpuruk dan menyalahkan segalanya. Gue
berproses di situ. Ada proses perbaikan dalam diri gue.
Mungkin banyak dari kalian pernah merasakan
perpisahan, dalam hal cinta-cintaan misalnya. Gimana rasanya? Sakit? Perih?
Susah move on? Ya, pasti banyak
perasaan-perasaan lain yang campur aduk teu
paruguh, iya kan? Terus, gimana kalian mengatasinya? Nangis? Marah?
Teriak-teriak di Dufan/Jungle Land/Universal Studio? Atau mungkin ada yang
masih belum bisa mengatasinya dan bahkan belum bisa melupakan sang mantan? Semua
serba salah kan? Okesip. Gue nggak mau ngebahas luka lama kalian. Semoga sang
mantan akan terlupakan dengan sendirinya. Mari kita membahas tentang “luka
perpisahan” gue aja. Nggak apa-apa gue yang terluka lagi, tapi bisa menjadi
jalan untuk gue menyembuhkan luka itu. Kalo kalian berpikir tulisan ini tentang
perpisahan dengan sang mantan, kalian salah. Bukan. Ini perpisahan menyakitkan
yang melebihi perpisahan dengan sang mantan.
Kalian tahu kata “ibu”, “nyokap”, “mama”, “mom”, “mami”, “ummi”, “mamak”, “emak”, “maman”, “nyak”, dsb? Kalian bisa
membayangkan wujud fisik stereotip seorang ibu itu seperti apa? Apa sekarang
kalian sedang membayangkan wajah ibu kalian dengan segala kebiasaan Beliau?
Gimana cantiknya, duit jajannya, baiknya, marahnya, omelannya, pelitnya,
protektifnya, kasih sayang, bahkan diamnya seorang ibu pada kalian? Pasti ada
sebagian yang senyum-senyum, mesam-mesum mesam-mesem, berkaca-kaca,
sebal atau mungkin marah. Ayo ngaku deh…
Kalo kita gabung kata “perpisahan”, “anak”, dan
“ibu” maka akan tercipta “perpisahan anak-ibu”, yang artinya perpisahan (seorang atau lebih)
anak dengan ibunya. Emang ngaco sih pengertiannya. Skip, skip.
Pernah nggak kalian membayangkan suatu saat bakalan tinggal jauh atau bahkan berpisah jauh banget sama emak? Kalo pisahnya antara Prancis-Indonesia sih pasti nggak jadi soal buat kalian malah pengin banget, tapi untuk yang terakhir pasti deh bakalan pada bilang “amit-amit jangan sampe, gue pengin emak nemenin gue ampe tuir punya anak cucu beranak pinak”. Haha panjang banget ya amit-amit-nya. Well, kalo gue pribadi pernah terbersit pikiran kayak gitu soalnya. Nggak kebayang bakal gimana rasanya. Btw itu udah lama banget sih mikir begitu dan responsnya kayak yang gue tulis tadi. *maklum, nyokap gue angkatan ’50-an*
Gimana ya rasanya kalau perpisahan anak-ibu itu terjadi pada kita—kalian? Gimana ya rasanya nggak ada lagi orang yang sangat mencintai kalian, yang suka sembunyi-sembunyi dari ayah untuk ngasih uang tambahan ke kalian (padahal jajannya udah bisa beli bajaj buat sekompleks)? Gimana ya rasanya kehilangan tempat bersandar, kehilangan orang untuk “berpegangan” saat lelah menjalani rutinitas hidup kalian, mandi-makan-tidur-kuliah-kentut? Apa sama ya rasanya kayak kehilangan patjar?
Boleh gue jawab? Nggak sama persis. Mungkin bentuk rasanya sama, tapi kedalaman rasanya nggak sama. Kalo kalian pernah tahu rasanya lagi bawa motor terus keserempet truk kuning-yang-ngangkut-entah-apa-isinya-itu terus guling-guling di aspal (comme moi quand j’étais au lycée), ummm, rasanya lebih dahsyat dari itu dan kehilangan seorang ibu meninggalkan bekas yang nggak akan pernah hilang. Kalo luka biasa kan bisa diilangin pake Dermatix. Ben oui.
LALU, SUDAH SIAPKAH KALIAN KEHILANGAN SOSOK IBU? Jujur, gue sendiri tidak siap akan kehilangan tersebut. Siapa juga yang siap sih dengan hal kayak gitu? Umur manusia siapa tahu, tapi gue sendiri aware kalo gue bakal kehilangan ibu lebih cepat dari teman-teman seusia gue. *lagi-lagi harus maklum, nyokap gue angkatan ’50-an*
Usia gue nyaris masuk ke angka 20 tahun waktu terjadi perpisahan anak-ibu itu. Pas minggu pertama liburan kampus. Tanpa peringatan apa-apa, nyokap juga sehat wal afiat, masih ngobrol-ngobrol sekeluarga, dan bercanda-ketawa-ketiwi setengah jam sebelum kejadian itu. Cerita tentang kehilangan itu ada di sini.
Dalam proses healing dari kehilangan itu (sampai tulisan ini dibuat, sekitar 1 tahun 8 bulan), gue merasakan dan mengamati perubaha-perubahan yang ada dalam hidup gue. Ada proses pendewasaan diri yang terasa selama sekitar 1 tahun 8 bulan ini.
Di awal-awal, perasaan bingunglah yang mendominasi batin gue. Kecewa, marah, sedih bercampur jadi satu sama semangat. Semangat untuk nunjukin kalo gue bisa kuat setelah kehilangan ibu dan nilai-nilai di kampus bakalan bagus. Maksudnya, gue masihlah si-anak-berjiwa-batu-karang-nya ibu.
Setelah semester 2 kuliah berlalu, yang gue lewati dengan gemilang, yang muncul kemudian adalah perasaan kecewa, marah, sedih yang bercampur jadi satu sama sebuah pertanyaan “untuk ditunjukin ke siapa nilai-nilai bagus di perkuliahan ini, nyokap kan nggak ada”. Si pertanyaan kunyuk itu bikin gue nge-drop banget. Gue menghakimi diri kalo gue bukan lagi anak yang lahir batin sekuat baja. Apalagi saat mulai ngeh sama perangai baik lingkaran sodara jauh yang dekat (paman-bibi, sepupu-sepupu) yang waktu ibu masih ada sangat kentara, tapi setelah masa berkabung selesai perangai itu entah hilang ke mana. Ditambah pertemanan gue sama anak seangkatan yang mandeg di kampus karena gue ceritanya memang ingin fokus kuliah nggak mau macem-macem setelah gue buat sebuah kesalahan besar sebelum masuk Sastra Prancis UI, tapi malah ujung-ujungnya jadi nggak peduli seteman dalam urusan apapun. Fase ini bikin nilai gue hancur di semester 3. Jeger!
Alarm peringatan di kepala gue berdentum-dentum, keras banget. Peringatan kalo gue terus terbawa dengan perasaan yang sama, tanpa sadar gue akan menuju kutub negatif kehidupan. Selain itu, diri gue sendiri mengingatkan kalo gue udah melanggar janji gue ke nyokap sebelum Beliau nggak ada untuk jadi anak baik. *agak terkesan ambigu, dari dulu gue anak baik koook*
Semester 4, walaupun agak sedikit kesulitan di awal, gue mulai merekonstruksi semangat gue yang sempat pudar. Alhamdulillah ada sedikit kenaikan yang memicu semangat baru di semester 5 ini. Ada sebuah kesadaran yang muncul ketika akan memulai semester baru bahwa jawaban dari pertanyaan kunyuk di akhir semester 2 itu adalah GUE. Nilai-nilai bagus di perkuliahan ini untuk ditunjukin ke DIRI GUE SENDIRI.
Gue jadi mengerti makna dari ungkapan kebahagiaan itu letaknya ada dalam diri. Ya, untuk merasakan kebahagiaan gue, ya gue harus melihat ke dalam diri gue. Tanyalah maunya si jiwa ini, telaah, ngobrol sama diri sendiri (asal jangan di jalan ngomong sendiri, ntar dikira agak miring). Terus kalo udah dapet jawabannya ya disyukuri. Kebahagiaan diri sendiri (impian, nilai, etc) yang digantungkan pada diri orang lain hanya akan membawa kekecewaan di kemudian hari. Contohnya yang kayak gue ceritain tadi, gue pengin nunjukin sesuatu yang indah pada nyokap, tapi karena sosok riil dari nyokap sendiri itu nggak ada jadinya diri sendiri juga yang mempertanyakan. Udah capek-capek dapet nilai bagus (penuh perjuangan, keringat, dan air mata di Sasper), tapi nggak gue dapetin pujian yang biasa terdengar dari nyokap ataupun sodara-sodara. Gue sempat salah arah, tapi gue berusaha memperbaiki diri dan mengembalikan kemudi hidup gue ke jalur yang benar.
Selain masalah rekonstruksi semangat yang jadi bahan pembelajaran gue, banyak juga pembelajaran baru yang gue dapat selama rentang waktu itu. Contohnya, tanpa gue sadari mon Dieu mewujudkan mimpi-mimpi yang gue pupuk dari nyokap masih ada.
Dari dulu gue punya mimpi untuk bisa dekat secara personal sama Nadia Vega. Awalnya memang sepertinya jalannya sulit, tapi akhirnya terwujud dan kedekatan ini lebih dari yang gue pernah bayangkan. Gue juga punya mimpi untuk bisa datang dan berada dalam sebuah studio atau lokasi syuting dan bisa bikin gue berinteraksi sama artis-artis plus nambah koneksi. Alhamdulillah, hal itu terwujud. Alhamdulillah.
Mungkin kalian bosen ngedengerin melulu gue nyebut tentang Nadia Vega, tapi di sini gue mau ceritain masalah syukur dan kegigihan. Untuk mewujudkan semua ini gue memerlukan waktu sepuluh tahun. Rentang waktu yang lumayan panjang dari gue baru unyu-unyu umur 10 tahun sampe gue kayak model Garfield-walk. Butuh proses buat gue menggapai sebuah mimpi. Bersyukur bahwa gue bisa menikmati proses itu dan memanen hasilnya dengan senyuman. Semakin gue bersyukur, gue merasa pintu-pintu yang mon Dieu siapkan untuk gue itu semakin terbuka.
Gue bisa lebih berani tinggal sendiri dan menjelajahi jalanan walaupun sampai subuh sendirian. Keberanin itu muncul karena gue menyadari betul bahwa gue—kita hidup di dunia ini secara batiniah dari lahir, menjalani hidup, sampai dikubur akan terus sendirian. Memang secara fisik akan butuh orang lain, tapi batin atau jiwa? Semua urusan masing-masing dan masalah yang hanya akan dilimpahkan pada diri sendiri. Pilihan yang kita ambil juga harus dari diri kita (agar bahagia). Kita juga punya pikiran sendiri-sendiri yang orang lain nggak tahu. Mungkin ketika disampaikan si pikiran itu akan ada yang mirip-mirip, tapi tidak akan sama persis plek-plek-plek.
Selain itu, gue juga belajar mengenai proses penerimaan diri gue terhadap apapun itu. Adakalanya gue boleh memprotes sesuatu, tapi harus sewajarnya aja. Kalo gue nggak menerima apapun itu dengan lapang dada, gue akan terjerembab dalam lembah denial yang memperlambat proses pembelajaran baru. Hasilnya? Lagi-lagi kekecewaan.
Jadi, kalo mau dirangkum “Makna Perpisahan” menurut gue itu adalah……
Pernah nggak kalian membayangkan suatu saat bakalan tinggal jauh atau bahkan berpisah jauh banget sama emak? Kalo pisahnya antara Prancis-Indonesia sih pasti nggak jadi soal buat kalian malah pengin banget, tapi untuk yang terakhir pasti deh bakalan pada bilang “amit-amit jangan sampe, gue pengin emak nemenin gue ampe tuir punya anak cucu beranak pinak”. Haha panjang banget ya amit-amit-nya. Well, kalo gue pribadi pernah terbersit pikiran kayak gitu soalnya. Nggak kebayang bakal gimana rasanya. Btw itu udah lama banget sih mikir begitu dan responsnya kayak yang gue tulis tadi. *maklum, nyokap gue angkatan ’50-an*
Gimana ya rasanya kalau perpisahan anak-ibu itu terjadi pada kita—kalian? Gimana ya rasanya nggak ada lagi orang yang sangat mencintai kalian, yang suka sembunyi-sembunyi dari ayah untuk ngasih uang tambahan ke kalian (padahal jajannya udah bisa beli bajaj buat sekompleks)? Gimana ya rasanya kehilangan tempat bersandar, kehilangan orang untuk “berpegangan” saat lelah menjalani rutinitas hidup kalian, mandi-makan-tidur-kuliah-kentut? Apa sama ya rasanya kayak kehilangan patjar?
Boleh gue jawab? Nggak sama persis. Mungkin bentuk rasanya sama, tapi kedalaman rasanya nggak sama. Kalo kalian pernah tahu rasanya lagi bawa motor terus keserempet truk kuning-yang-ngangkut-entah-apa-isinya-itu terus guling-guling di aspal (comme moi quand j’étais au lycée), ummm, rasanya lebih dahsyat dari itu dan kehilangan seorang ibu meninggalkan bekas yang nggak akan pernah hilang. Kalo luka biasa kan bisa diilangin pake Dermatix. Ben oui.
LALU, SUDAH SIAPKAH KALIAN KEHILANGAN SOSOK IBU? Jujur, gue sendiri tidak siap akan kehilangan tersebut. Siapa juga yang siap sih dengan hal kayak gitu? Umur manusia siapa tahu, tapi gue sendiri aware kalo gue bakal kehilangan ibu lebih cepat dari teman-teman seusia gue. *lagi-lagi harus maklum, nyokap gue angkatan ’50-an*
Usia gue nyaris masuk ke angka 20 tahun waktu terjadi perpisahan anak-ibu itu. Pas minggu pertama liburan kampus. Tanpa peringatan apa-apa, nyokap juga sehat wal afiat, masih ngobrol-ngobrol sekeluarga, dan bercanda-ketawa-ketiwi setengah jam sebelum kejadian itu. Cerita tentang kehilangan itu ada di sini.
Dalam proses healing dari kehilangan itu (sampai tulisan ini dibuat, sekitar 1 tahun 8 bulan), gue merasakan dan mengamati perubaha-perubahan yang ada dalam hidup gue. Ada proses pendewasaan diri yang terasa selama sekitar 1 tahun 8 bulan ini.
Di awal-awal, perasaan bingunglah yang mendominasi batin gue. Kecewa, marah, sedih bercampur jadi satu sama semangat. Semangat untuk nunjukin kalo gue bisa kuat setelah kehilangan ibu dan nilai-nilai di kampus bakalan bagus. Maksudnya, gue masihlah si-anak-berjiwa-batu-karang-nya ibu.
Setelah semester 2 kuliah berlalu, yang gue lewati dengan gemilang, yang muncul kemudian adalah perasaan kecewa, marah, sedih yang bercampur jadi satu sama sebuah pertanyaan “untuk ditunjukin ke siapa nilai-nilai bagus di perkuliahan ini, nyokap kan nggak ada”. Si pertanyaan kunyuk itu bikin gue nge-drop banget. Gue menghakimi diri kalo gue bukan lagi anak yang lahir batin sekuat baja. Apalagi saat mulai ngeh sama perangai baik lingkaran sodara jauh yang dekat (paman-bibi, sepupu-sepupu) yang waktu ibu masih ada sangat kentara, tapi setelah masa berkabung selesai perangai itu entah hilang ke mana. Ditambah pertemanan gue sama anak seangkatan yang mandeg di kampus karena gue ceritanya memang ingin fokus kuliah nggak mau macem-macem setelah gue buat sebuah kesalahan besar sebelum masuk Sastra Prancis UI, tapi malah ujung-ujungnya jadi nggak peduli seteman dalam urusan apapun. Fase ini bikin nilai gue hancur di semester 3. Jeger!
Alarm peringatan di kepala gue berdentum-dentum, keras banget. Peringatan kalo gue terus terbawa dengan perasaan yang sama, tanpa sadar gue akan menuju kutub negatif kehidupan. Selain itu, diri gue sendiri mengingatkan kalo gue udah melanggar janji gue ke nyokap sebelum Beliau nggak ada untuk jadi anak baik. *agak terkesan ambigu, dari dulu gue anak baik koook*
Semester 4, walaupun agak sedikit kesulitan di awal, gue mulai merekonstruksi semangat gue yang sempat pudar. Alhamdulillah ada sedikit kenaikan yang memicu semangat baru di semester 5 ini. Ada sebuah kesadaran yang muncul ketika akan memulai semester baru bahwa jawaban dari pertanyaan kunyuk di akhir semester 2 itu adalah GUE. Nilai-nilai bagus di perkuliahan ini untuk ditunjukin ke DIRI GUE SENDIRI.
Gue jadi mengerti makna dari ungkapan kebahagiaan itu letaknya ada dalam diri. Ya, untuk merasakan kebahagiaan gue, ya gue harus melihat ke dalam diri gue. Tanyalah maunya si jiwa ini, telaah, ngobrol sama diri sendiri (asal jangan di jalan ngomong sendiri, ntar dikira agak miring). Terus kalo udah dapet jawabannya ya disyukuri. Kebahagiaan diri sendiri (impian, nilai, etc) yang digantungkan pada diri orang lain hanya akan membawa kekecewaan di kemudian hari. Contohnya yang kayak gue ceritain tadi, gue pengin nunjukin sesuatu yang indah pada nyokap, tapi karena sosok riil dari nyokap sendiri itu nggak ada jadinya diri sendiri juga yang mempertanyakan. Udah capek-capek dapet nilai bagus (penuh perjuangan, keringat, dan air mata di Sasper), tapi nggak gue dapetin pujian yang biasa terdengar dari nyokap ataupun sodara-sodara. Gue sempat salah arah, tapi gue berusaha memperbaiki diri dan mengembalikan kemudi hidup gue ke jalur yang benar.
Selain masalah rekonstruksi semangat yang jadi bahan pembelajaran gue, banyak juga pembelajaran baru yang gue dapat selama rentang waktu itu. Contohnya, tanpa gue sadari mon Dieu mewujudkan mimpi-mimpi yang gue pupuk dari nyokap masih ada.
Dari dulu gue punya mimpi untuk bisa dekat secara personal sama Nadia Vega. Awalnya memang sepertinya jalannya sulit, tapi akhirnya terwujud dan kedekatan ini lebih dari yang gue pernah bayangkan. Gue juga punya mimpi untuk bisa datang dan berada dalam sebuah studio atau lokasi syuting dan bisa bikin gue berinteraksi sama artis-artis plus nambah koneksi. Alhamdulillah, hal itu terwujud. Alhamdulillah.
Mungkin kalian bosen ngedengerin melulu gue nyebut tentang Nadia Vega, tapi di sini gue mau ceritain masalah syukur dan kegigihan. Untuk mewujudkan semua ini gue memerlukan waktu sepuluh tahun. Rentang waktu yang lumayan panjang dari gue baru unyu-unyu umur 10 tahun sampe gue kayak model Garfield-walk. Butuh proses buat gue menggapai sebuah mimpi. Bersyukur bahwa gue bisa menikmati proses itu dan memanen hasilnya dengan senyuman. Semakin gue bersyukur, gue merasa pintu-pintu yang mon Dieu siapkan untuk gue itu semakin terbuka.
Gue bisa lebih berani tinggal sendiri dan menjelajahi jalanan walaupun sampai subuh sendirian. Keberanin itu muncul karena gue menyadari betul bahwa gue—kita hidup di dunia ini secara batiniah dari lahir, menjalani hidup, sampai dikubur akan terus sendirian. Memang secara fisik akan butuh orang lain, tapi batin atau jiwa? Semua urusan masing-masing dan masalah yang hanya akan dilimpahkan pada diri sendiri. Pilihan yang kita ambil juga harus dari diri kita (agar bahagia). Kita juga punya pikiran sendiri-sendiri yang orang lain nggak tahu. Mungkin ketika disampaikan si pikiran itu akan ada yang mirip-mirip, tapi tidak akan sama persis plek-plek-plek.
Selain itu, gue juga belajar mengenai proses penerimaan diri gue terhadap apapun itu. Adakalanya gue boleh memprotes sesuatu, tapi harus sewajarnya aja. Kalo gue nggak menerima apapun itu dengan lapang dada, gue akan terjerembab dalam lembah denial yang memperlambat proses pembelajaran baru. Hasilnya? Lagi-lagi kekecewaan.
Jadi, kalo mau dirangkum “Makna Perpisahan” menurut gue itu adalah……
- Perpisahan adalah sebuah awal pembelajaran baru dalam hidup;
- Perpisahan adalah berproses;
- Perpisahan adalah lembaran baru dalam hidup;
- Perpisahan adalah penyembuhan;
- Perpisahan adalah pendewasaan diri;
- Perpisahan adalah rekonstruksi hati;
- Perpisahan adalah sebuah afirmasi;
- Perpisahan adalah sesuatu yang harus disyukuri;
- Perpisahan adalah penerimaan diri;
- Perpisahan adalah sebuah kebahagiaan diri;
- dan Perpisahan adalah sebuah ketenangan jiwa;
Depok, 11 September 2014
- SVG -
No comments:
Post a Comment