Nggak kerasa waktu bergulir begitu cepat. Nggak kerasa juga
ternyata gue memasuki tahun ke-8 gue mengidolakan Nadia Vega. Well, delapan
tahun itu waktu yang nggak sebentar, men. Banyak suka duka mengiringi
perjalanan gue mengidolakan gadis cantik kelahiran Pekanbaru, 12 Desember 1987
itu.
Mungkin bisa dibilang gue udah hapal
luar kepala kalo ditanya apa pun tentang Nadia Vega. Gue coba cerita tanpa
lihat internet atau catatan apapun yaaa…
Nadia Vega lahir di Pekanbaru, 12 Desember 1987 dari pasangan Tante Dian dan Oom Rahmat. Kok lahirnya jauh amat di Pekanbaru? Kan Nadia Vega tinggal di Bogor? Menurut cerita yang gue denger dari Mamanya Teh Nadia, karena waktu itu Tante lagi mengandung-janin-yang-soon to be-Teh Nadia susah melahirkan (padahal usia kandungannya sudah 9 bulan), Tante dan Oom yang domisilinya di Bogor memutuskan terbang ke Pekanbaru untuk tinggal dengan kakaknya Tante di sana. Harapannya sih biar si jabang bayi di kandungan Tante bisa cepat mbrojol. Dan ternyata... Harapannya terkabul! Setelah ke Pekanbaru, beberapa waktu kemudian Tante bisa dengan gampangnya melahirkan si Teh Nadia! I bet pasti banyak yang nggak tahu tentang cerita ini.
Nadia Vega memulai kariernya di
dunia hiburan sejak usianya memasuki angka 9 tahun. Nadia Vega mencoba
peruntungannya menjadi host acara anak di Indosiar, yang kalau nggak
salah itu namanya “Pesta Ceria”. Acara tersebut tergolong sukses. Ada cerita
seru di balik perjalanannya menjadi host acara tersebut. Sebelum menjadi
host, tentunya Nadia Vega harus mengikuti audisi. Nah, di saat akan
mengikuti audisi ini Teh Nadia yang berdomisili di Bogor harus naik bus untuk
mencapai studio Indosiar yang berada di Daan Mogot. Bus yang Teh Nadia dan
Mamanya tumpangi penuh sesak plus non-AC pula. Alhasil, saking
empet-empetannya Teh Nadia sampai harus duduk di bersama barang-barang
penumpang lain. Tahu kan kalo di bus itu ada tempat naro barang-barang
penumpang yang posisinya di balik kursi paling belakang? Nah, di situ Teh Nadia
duduk! Ckckck… Udah gitu sampe ke Indosiarnya telat pula. Alhasil tempat
audisinya udah sepi krik-krik. Untungnya pihak Indosiar masih mengizinkan Teh
Nadia ikut audisi. Coba nggak… Kasian banget kan Teh Nadia capek-capek ke sana.
Alhamdulillah, Teh Nadia akhirnya diterima jadi host acara tersebut.
Semenjak itu mulailah berdatangan job-job
iklan, jingle, dsb ke Teh Nadia. Hingga akhirnya di tahun 2003 Teh Nadia mulai
main sinetron berjudul “Inikah Rasanya” bareng Alyssa Soebandono, Gilbert
Marciano, Rifky Balweel, dan Raya D. Kohandi. Di sini, Nadia Vega berperan
sebagai cewek SMP yang agak tomboy namun manis dengan style rambut highlight.
Di sinetron ini, yang gue tangkap, Teh Nadia seolah-olah “dijodohkan” dengan
Rifky Balweel yang berperan sebagai Jono, si culun berkacamata.
Sayangnya, saat sinetron Inikah
Rasanya mulai tayang, gue masih belom ngeh sama kehadiran Teh Nadia. Gue
juga waktu itu masih seneng mindah-mindahin channel tanpa nonton isi acaranya.
Awal Mengenalnya…
Gue melihat sosoknya pertama kali saat
gue lagi asyik-asyiknya mindah-mindahin channel
tv di rumah gue. Kira-kira waktu itu gue masih kelas 5 SD, umm, sekitar
tahun 2004. Entah mengapa saat itu jari gue yang super lincah nggak ketulungan
ini mencet tombol remote angka enam,
yang langsung ngebawa gue ke sebuah sinetron di saluran SCTV.
Icha.
Perannya di sinetron Cinta Terbagi Lima membuat gue
bisa sejenak menghentikan gerak jari-jemari gue. Paralyzed. Padahal biasanya gue bisa dengan lincahnya mengubah-ubah
saluran tv dalam hitungan sepersekian detik. Gue cuma bisa duduk terpaku
memandanginya. Siapa dia?
Gaya khasnya membuat gue jatuh
cinta. Pun aktingnya. So natural.
Karakter tomboy itu begitu dihayati oleh sang aktris. Icha lebih banyak memiliki
teman lawan jenis, ber-BMX ria ke manapun, benci hal-hal ke-cewek-an, dan
bermental baja. Seperti gayaku sehari-hari saat itu.
I
hate Barbie, I love bicycling, nggak suka jadi anak bawang, dan sahabat masa
kecil gue itu semuanya cowok. Entah gimana ceritanya gue lebih merasa nyambung
kalo deket-deket cowok. Nah, gue yang tomboy waktu itu seperti menemukan sosok
yang tepat untuk dijadikan panutan ke-tomboy-an gue. Sayangnya, waktu pertama
kali liat dia, gue belum menemukan jawaban siapa nama asli pemeran tokoh Icha. Credit title-nya kelewatan jadi nggak kebaca
sama gue.
Pada saat itu internet bukan barang
yang mudah ditemukan. Masih eksklusif. Hanya orang-orang tertentu saja yang
bisa mengaksesnya. Nggak kayak sekarang yang tinggal tekan tombol di ponsel dan
viola, Mbah Google muncul siap
membantu kita!
Akhirnya kepasrahan itu menuntun gue
pada sebuah titik terang (ceilah!). Gue bisa kembali menyaksikan sosoknya beberapa
hari kemudian. Tapi… dalam wujud yang berbeda.
Mini.
Gayanya memang (masih) terlihat
tomboy. Hanya saja di sini ia terlihat lebih ‘kalem’. Highlight rambutnya yang sering dimain-mainkan jadi ciri khasnya di
sinetron ini. Tomboy nanggung menurut gue. Walau begitu, dia tetap sukses
membuat tanganku berhenti mindah-mindahin channel
televisi. Betapa hebat pengaruhnya cewek itu padaku.
Nadia
Vega.
Gue kantongi nama itu untuk gue selidiki
lebih lanjut. Majalah Aneka Yess! jadi rajin gue beli tiap dua minggu sekali,
pun tabloid Keren Beken karena kedua media cetak itu selalu update mengenai Nadia. Karena saat itu
Nadia lagi aktif-aktifnya jadi model kaos Ie-Be. Uang jajan gue habis buat
membeli keduanya. Syukur Alhamdulillah ketika itu uang jajan gue sudah jauh di
atas rata-rata anak seumuran gue. (ps : Ingat, waktu itu gue lagi masih benci
hal-hal kecewekan, bahkan sampai majalah! Biasanya gue beli majalah MISTERI! Hehehe…)
Dari situ gue mulai mengenalnya.
Walau aktingnya di kedua sinetron itu sebagai anak SMP, saat itu Nadia ternyata
sudah duduk di bangku SMA! Lalu yang mengejutkanku, ternyata dia orang Bogor! Sekolahnya
di Bina Insani, deket rumah! Euleuh, euleuh…
Gue merekam dalam memori biodata
Nadia yang tercetak pada lembar majalah itu. Lahir di Pekanbaru, 12 Desember
1987. Anak pertama dari tiga bersaudara. Dan lain sebagainya. Semua masih
tersimpan dengan baik dalam sudut memori gue yang kekal abadi.
Mulai saat itu tumbuh benih-benih mengidolakan
Nadia dalam hidup gue, yang terus gue pupuk tiap harinya. Rasa itu semakin
tumbuh besar dan bersemi dalam hati gue. Dan saat itu, gue bertekad untuk bisa
bertemu dengannya suatu saat nanti. Harus bisa!
Nggak pernah ada kata tidak bisa
dalam kamus hidup gue. I always get what
I want! Gue pasti akan memperjuangkan keinginan gue itu sampai titik darah
pengabisan.
Didorong rasa itu, gue kumpulkan tiap kepingan gambar Nadia. Gue
tempel semuanya dalam lembaran kertas binder. Sambil terus merapal keinginan
gue bertemu dengannya di dalam hati. Gue meneguhkan hati. Meluruskan niat.
Berharap Tuhan mendengar semua keinginanku.
Ibu sesekali menatapi gue yang heboh
di kamar dengan gunting dan lem. Sesekali Beliau menertawai gue. ‘Apa yang bisa
kau harapkan dari melakukan itu semua, Nak?’ Kurang lebih itu yang bisa gue terjemahkan
dari pandangan matanya. Gue cuma bisa membalas pandangan itu dengan sebuah
senyuman miris. Atau sekedar tertawa kecil sambil menghibur diri.
Ya, apa yang bisa gue harapkan dari
yang gue kerjakan ini?
Gue yang masih bocah ingusan kala
itu memang tak pernah tahu kapan bisa bertemu dengannya.
Bertemu Icha. Bertemu Nadia Vega.
(to be continue)
(to be continue)
No comments:
Post a Comment